Guru merupakan aspek besar dalam penyebaran ilmu, apalagi jika yang disebarkan adalah ilmu agama yang mulia ini. Para pewaris nabi begitu julukan mereka para pemegang kemulian ilmu agama. Tinggi kedudukan mereka di hadapan Sang Pencipta.
Ketahuilah saudaraku para pengajar agama mulai dari
yang mengajarkan iqra sampai para ulama besar, mereka semua
itu ada di pesan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam. Beliau bersabda,
ليس منا من لم يجل كبيرنا
و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه
“Tidak termasuk golongan kami orang yang
tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang
tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Al Jami).
Tersirat dari perkatanya shallahu ‘alaihi wa
salam, bahwa mereka para ulama wajib di perlakukan sesuai dengan haknya.
Akhlak serta adab yang baik merupakan kewajiban yang tak boleh dilupakan bagi
seorang murid.
Guru kami DR. Umar As-Sufyani Hafidzohullah mengatakan,
“Jika seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka akan menimbulkan dampak
yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang didapat, tidak dapat
mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya. Itu semua contoh
dari dampak buruk.”
Maka seperti apa adab yang baik kepada seorang guru?
Menghormati guru
Para Salaf, suri tauladan untuk manusia setelahnya
telah memberikan contoh dalam penghormatan terhadap seorang guru. Sahabat Abu
Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu berkata,
كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس
إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid,
maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di
hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu
pun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran
umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali
kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu anhu dan
berkata,
هكذا أمرنا أن نفعل بعلمائنا
“Seperti inilah kami
diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”.
Berkata Abdurahman bin Harmalah Al Aslami,
ما كان إنسان يجترئ على سعيد بن المسيب
يسأله عن شيء حتى يستأذنه كما يستأذن الأمير
“Tidaklah sesorang berani bertanya kepada
Said bin Musayyib, sampai dia meminta izin, layaknya meminta izin kepada
seorang raja”.
Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata,
مَا وَاللَّهِ اجْتَرَأْتُ أَنْ أَشْرَبَ
الْمَاءَ وَالشَّافِعِيُّ يَنْظُرُ إِلَيَّ هَيْبَةً لَهُ
“Demi Allah, aku tidak berani meminum air
dalam keadaan Asy-Syafi’i melihatku karena segan kepadanya”.
Diriwayatkan oleh Al–Imam Baihaqi, Umar bin
Khattab mengatakan,
تواضعوا لمن تعلمون منه
“ Tawadhulah kalian terhadap orang yang
mengajari kalian”.
Al Imam As Syafi’i berkata,
كنت أصفح الورقة بين يدي مالك صفحًا رفيقًا
هيبة له لئلا يسمع وقعها
“Dulu aku membolak balikkan kertas di
depan Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak
mendengarnya”.
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak
pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah
berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ
إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kalau sekiranya mereka
sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya” (QS. Al Hujurat: 5).
Sungguh mulia akhlak mereka para suri tauladan kaum
muslimin, tidaklah heran mengapa mereka menjadi ulama besar di umat ini,
sungguh keberkahan ilmu mereka buah dari akhlak mulia terhadap
para gurunya.
Memperhatikan adab-adab
ketika berada di depan guru
Adab Duduk
Syaikh Bakr Abu Zaid Rahimahullah di
dalam kitabnya Hilyah Tolibil Ilm mengatakan, “Pakailah adab
yang terbaik pada saat kau duduk bersama syaikhmu, pakailah cara yang
baik dalam bertanya dan mendengarkannya.”
Syaikh Utsaimin mengomentari perkataan
ini, “Duduklah dengan duduk yang beradab, tidak membentangkan kaki, juga tidak
bersandar, apalagi saat berada di dalam majelis.”
Ibnul Jamaah mengatakan, “Seorang penuntut ilmu harus
duduk rapi, tenang, tawadhu’, mata tertuju kepada guru, tidak membetangkan
kaki, tidak bersandar, tidak pula bersandar dengan tangannya, tidak tertawa
dengan keras, tidak duduk di tempat yang lebih tinggi juga tidak membelakangi
gurunya”.
Adab Berbicara
Berbicara dengan seseorang yang telah mengajarkan kebaikan
haruslah lebih baik dibandingkan jika berbicara kepada orang lain. Imam Abu
Hanifah pun jika berada depan Imam Malik ia layaknya seorang anak di hadapan
ayahnya.
Para Sahabat Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam,
muridnya Rasulullah, tidak pernah kita dapati mereka beradab buruk kepada
gurunya tersebut, mereka tidak pernah memotog ucapannya atau mengeraskan suara
di hadapannya, bahkan Umar bin khattab yang terkenal keras wataknya tak pernah
menarik suaranya di depan Rasulullah, bahkan di beberapa riwayat, Rasulullah
sampai kesulitan mendengar suara Umar jika berbicara.
Di hadist Abi Said al Khudry radhiallahu
‘anhu juga menjelaskan,
كنا جلوساً في المسجد إذ خرج رسول الله فجلس
إلينا فكأن على رؤوسنا الطير لا يتكلم أحد منا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid,
maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di
hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu
pun dari kami yang berbicara” (HR. Bukhari).
Sungguh adab tersebut tak terdapatkan di umat manapun.
Adab Bertanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَسْئَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43).
Bertanyalah kepada para ulama, begitulah pesan Allah
di ayat ini, dengan bertanya maka akan terobati kebodohan, hilang kerancuan,
serta mendapat keilmuan.
Tidak diragukan bahwa bertanya juga mempunyai adab di
dalam Islam.
Para ulama telah menjelaskan tentang adab bertanya
ini. Mereka mengajarkan bahwa pertanyaan harus disampaikan dengan tenang, penuh
kelembutan, jelas, singkat dan padat, juga tidak menanyakan pertanyaan yang
sudah diketahui jawabannya.
Di dalam Al-Qur’an terdapat kisah adab yang baik
seorang murid terhadap gurunya, kisah Nabi Musa dan Khidir. Pada saat Nabi
Musa ‘alihi salam meminta Khidir untuk mengajarkannya ilmu,
إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً
“Khidir menjawab, Sungguh, engkau(musa)
tidak akan sanggup sabar bersamaku” (QS. Al Kahfi: 67).
Nabi Musa, Kaliimullah dengan segenap
ketinggian maqomnya di hadapan Allah, tidak diizinkan untuk
mengambil ilmu dari Khidir, sampai akhirnya percakapan berlangsung dan
membuahkan hasil dengan sebuah syarat dari Khidir.
فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى
أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً
“Khidir berkata, jika engkau mengikuti
maka janganlah engkau menanyakanku tentang sesuatu apapun, sampai aku
menerangkannya” (QS. Al Kahfi:70).
Jangan bertanya sampai diizinkan, itulah syarat Khidir
kepada Musa. Maka jika seorang guru tidak mengizinkannya untuk bertanya maka
jangalah bertanya, tunggulah sampai ia mengizinkan bertanya. Kemudian,
doakanlah guru setelah bertanya seperti ucapan, Barakallahu fiik,
atau Jazakallahu khoiron dan lain lain. Banyak dari kalangan salaf berkata,
ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً
“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti
mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”
Adab dalam Mendengarkan
Pelajaran
Bagaimana rasanya jika kita berbicara dengan seseorang
tapi tidak didengarkan? Sungguh jengkel dibuatnya hati ini. Maka bagaiamana
perasaan seorang guru jika melihat murid sekaligus lawan bicaranya itu tidak
mendengarkan? Sungguh merugilah para murid yang membuat hati gurunya jengkel.
Agama yang mulia ini tak pernah mengajarkan adab
seperti itu, tak didapati di kalangan salaf adab yang seperti itu. Sudah kita
ketahui kisah Nabi Musa yang berjanji tak mengatakan apa-apa selama belum
diizinkan. Juga para sahabat Rasulullah yang diam pada saat Rasulullah berada
di tengah mereka.
Bahkan di riwayatkan Yahya bin Yahya Al Laitsi tak
beranjak dari tempat duduknya saat para kawannya keluar melihat rombongan gajah
yang lewat di tengah pelajaran, yahya mengetahui tujuannya duduk di sebuah
majelis adalah mendengarkan apa yang dibicarakan gurunya bukan yang lain.
Apa yang akan Yahya bin Yahya katakan jika melihat
keadaan para penuntut ilmu saat ini, jangankan segerombol gajah yang lewat,
sedikit suarapun akan dikejar untuk mengetahuinya seakan tak ada seorang guru
di hadapannya, belum lagi yang sibuk berbicara dengan kawan di sampingnya, atau
sibuk dengan gadgetnya.
Mendoakan guru
Banyak dari kalangan salaf berkata,
ما صليت إلا ودعيت لوالدي ولمشايخي جميعاً
“Tidaklah aku mengerjakan sholat kecuali aku pasti
mendoakan kedua orang tuaku dan guru guruku semuanya.”
Memperhatikan adab-adab
dalam menyikapi kesalahan guru
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
كل ابن آدم خطاء و خير الخطائين التوابون
“Setiap anak Adam pasti berbuat kesalahan,
dan yang terbaik dari mereka adalah yang suka bertaubat” (HR. Ahmad)
Para guru bukan malaikat, mereka tetap berbuat
kesalahan. Jangan juga mencari cari kesalahannya, ingatlah firman Allah.
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم
بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah mencari-cari keburukan
orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara
kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya” (QS. Al Hujurot:12).
Allah melarang mencari kesalahan orang lain dan
menggibahnya, larangan ini umum tidak boleh mencari kesalahan siapapun.
Bayangkan bagaimana sikap seseorang jika ia mendengar
aib saudara atau kawannya? Bukankah akan menyebabkan dampak yang buruk akan
hubungan mereka? Prasangka buruk akan mencuat, jarak akan tambah memanjang,
keinginan akrab pun tak terbenak lagi di pikiran.
Lantas, bagaimanakah jika aib para ulama, dan para
pengajar kebaikan yang tersebar? Sungguh manusia pun akan menjauhi mereka, ilmu
yang ada pada mereka seakan tak terlihat, padahal tidaklah lebih di butuhkan
oleh manusia melainkan para pengajar kebaikan yang menuntut hidupnya ke jalan
yang benar. Belum lagi aib-aib dusta yang tersebar tentang mereka.
Sungguh baik para Salaf dalam doanya,
اللهم استر عيب شيخي عني ولا تذهب بركة علمه
مني
“Ya Allah tutupilah aib guruku dariku, dan janganlah
kau hilangkan keberkahan ilmuya dari ku.”
Para salaf berkata,
لحوم العلماء مسمومة
“Daging para ulama itu mengandung racun.”
Guru kami DR. Awad Ar-Ruasti Hafidzohullah menjelaskan
tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara tentang aib para ulama,
maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung racun, akan sakit
hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya.”
Namun, ini bukan berarti menjadi penghalang untuk
berbicara kepada sang guru atas kesalahannya yang tampak, justru seorang tolabul
‘Ilm harus berbicara kepada gurunya jika ia melihat kesalahan gurunya.
Adab dalam menegur merekapun perlu diperhatikan mulai dari cara yang sopan dan
lembut saat menegur dan tidak menegurnya di depan orang banyak.
Meneladani penerapan
ilmu dan akhlaknya
Merupakan suatu keharusan seorang penuntut ilmu
mengambil ilmu serta akhlak yang baik dari gurunya. Kamipun mendapati di tempat
kami menimba ilmu saat ini, atau pun di tanah air, para guru, ulama, serta
ustad begitu tinggi akhlak mereka, tak lepas wajahnya menebarkan senyum kepada
para murid, sabarnya mereka dalam memahamkan pelajaran, sabar menjawab
pertanyaan para tolibul ilm yang tak ada habisnya, jika
berpapasan di jalan malah mereka yang memulai untuk bersalaman, sungguh akhlak
yang sangat terpuji dari para penerbar sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Jika gurumu itu sangat
baik akhlaknya, jadikanlah dia qudwah atau contoh untukmu
dalam berakhlak. Namun bila keadaan malah sebaliknya, maka jangan jadikan
akhlak buruknya sebagai contoh untukmu, karena seorang guru dijadikan contoh
dalam akhlak yang baik, bukan akhlak buruknya, karena tujuan seorang penuntut
ilmu duduk di majelis seorang guru mengambil ilmunya kemudian akhlaknya.”
Sabar dalam
membersamainya
Tidak ada satupun manusia di dunia ini kecuali pernah
berbuat dosa, sebaik apapun agamanya, sebaik apapun amalnya nya, sebanyak
apapun ilmunya, selembut apapun perangainya, tetap ada kekurangannya. Tetap
bersabarlah bersama mereka dan jangan berpaling darinya.
Allah berfirman :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ
عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ
أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap
keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena)
mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya
dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS.Al Kahfi:28).
Karena tidak ada yang lebih baik kecuali bersama orang
orang yang berilmu dan yang selalu menyeru Allah Azza wa Jalla.
Al Imam As Syafi Rahimahullah mengatakan,
اصبر على مر من الجفا معلم
فإن رسوب العلم في نفراته
“Bersabarlah
terhadap kerasnya sikap seorang guru
Sesungguhnya gagalnya mempelajari ilmu karena memusuhinya”
Besar jasa mereka para guru yang telah memberikan
ilmunya kepada manusia, yang kerap menahan amarahnya, yang selalu merasakan
perihnya menahan kesabaran, sungguh tak pantas seorang murid ini melupakan
kebaikan gurunya, dan jangan pernah lupa menyisipkan nama mereka di lantunan
doamu. Semoga Allah memberikan rahmat dan kebaikan kepada guru guru kaum
Muslimin. Semoga kita dapat menjalankan adab adab yang mulia ini.